WeWork, Startup co-working asal Amerika Serikat (AS), rencananya akan mengajukan kebangkrutan pada awal minggu kedua November 2023. Perusahaan ini mengalami utang yang besar dan kerugian yang signifikan. Menurut laporan Reuters, WeWork sedang mempertimbangkan untuk mengajukan petisi Bab 11 (Chapter 11) di New Jersey.
Pada Selasa (31/10), WeWork telah menandatangani perjanjian dengan kreditor untuk penundaan sementara pembayaran sebagian utangnya, namun masa tenggang hampir berakhir. WeWork memiliki utang bersih jangka panjang sebesar US$2,9 miliar pada akhir Juni dan sewa jangka panjang lebih dari US$13 miliar. Utang ini meningkat seiring dengan biaya pinjaman perbankan yang tinggi, yang menimbulkan kerugian bagi sektor real estat komersial di Amerika Serikat.
Pengajuan kebangkrutan ini sebenarnya tidak mengejutkan. WeWork, yang pada tahun 2019 memiliki valuasi sekitar US$47 miliar (sekitar Rp720 triliun), sudah lama menghadapi kesulitan. Kejatuhan terjadi setelah rencana pencatatan saham WeWork di pasar modal pada tahun 2019 gagal karena skeptisisme investor terhadap model bisnisnya yang fokus pada sewa jangka panjang dan penyewaan jangka pendek. Selain itu, investor juga khawatir akan potensi kerugian besar.
Masalah terus berlanjut dan situasi WeWork semakin sulit dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, WeWork akhirnya berhasil melantai di pasar saham dengan valuasi yang jauh lebih rendah. SoftBank, konglomerat Jepang yang menjadi investor utama, menghabiskan miliaran dolar untuk menopang WeWork, tetapi perusahaan terus mengalami kerugian.
Pada bulan Agustus, keberlanjutan operasi WeWork dipertanyakan, dengan banyak eksekutif termasuk CEO Sandeep Mathrani mengundurkan diri. Pada bulan September, WeWork menghadapi kesulitan untuk membayar sewa kantor, namun pada saat itu CEO sementara, David Tolley yakin WeWork tidak akan bangkrut. Strategi utama Tolley adalah melakukan negosiasi dengan pemilik gedung di seluruh dunia.
Sumber: CNBC Indonesia