Pilihannya Sulit, Perjuangannya Berat

by -90 Views

Dalam perjalanan politik saya selama 20 tahun terakhir, saya membawa pesan yang kurang lebih sama dengan apa yang terkandung di dalam buku ini. Dalam perjalanan saya, banyak lawan saya yang selalu hendak mendiskreditkan saya. Saya digambarkan sebagai seorang yang haus kekuasaan, yang nafsu untuk berkuasa. Dan, saya digambarkan sebagai seorang yang suka menggunakan kekerasan, yang kejam, dan sebagainya. Padahal, saya telah membuktikan setelah sekian puluh tahun, bahwa saya selalu mengutamakan jalan damai. Saya seorang mantan prajurit yang mengerti perang. Saya pernah melihat perang. Saya pernah melihat korban-korban perang. Komandan yang sangat saya hormati gugur di tangan saya karena ditembak musuh. Anak buah-anak buah saya yang terbaik gugur di sekitar saya, di medan perang. Saya yang harus ke keluarga mereka, ke ibu-ibu mereka, ke istri mereka, ke orang tua mereka, untuk memberi tahu putranya gugur di bawah kepemimpinan saya. Karena itu, saya selalu ingin jalan damai. Fitnah-fitnah yang mereka lontarkan sungguh sangat keji. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Republik Indonesia, padahal keluarga saya sebagian Kristen. Bahkan di sekitar saya, pengawal-pengawal saya, ajudan-ajudan saya, sekretaris saya, sebagian orang Nasrani. Saya seorang mantan prajurit TNI. Sumpah saya membela seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras. Saya telah mempertaruhkan nyawa saya, dan banyak anak buah saya dari berbagai suku dan agama telah gugur di bawah komando saya. Bagaimana bisa saya melanggar sumpah saya, dan melupakan pengorbanan anak buah saya? Saya juga telah difitnah, seolah bahwa saya adalah anti etnis Tionghoa. Padahal saya selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah-fitnah itu adalah bagian yang keji dari politik. Saya selalu minta kepada para sahabat dan pendukung saya untuk sabar dan tenang. Jangan menjadi marah. Kita harus semakin arif, semakin sabar. Dengan diam bukan kita menerima fitnah itu, tetapi kita perhitungkan dengan sebaik- baiknya. Jangan kita balas kedengkian dengan kedengkian. Jangan kita balas kejahatan dengan kejahatan. Jangan kita balas fitnah dengan fitnah. Saya minta saudara-saudara terus, walaupun sabar, kita juga harus siap. Siap mental kita, siap tenaga kita, siap napas kita. Saya minta saudara-saudara yang membaca buku ini, dalam keheningan malam nanti, renungkanlah pendapatmu, renungkanlah sikapmu, renungkanlah jawabanmu. Saya bertanya, apakah kita akan bersama-sama membela kebenaran, atau kita menyerah kepada ketidakbenaran, kepada kecurangan, kepada kezaliman? Dan, dalam hari-hari yang akan datang, setelah saudara merenung, saya mengajak saudara untuk mengambil langkah- langkah untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Saya telah memilih berjuang di atas landasan konstitusional. Saya tidak mau menyerah kepada keadaan yang tidak benar dan tidak adil. Saya menilai yang dialami Indonesia sekarang ini sarat dengan campur tangan asing. Ada negara-negara tertentu yang ingin Indonesia lemah, yang ingin Indonesia hancur, yang ingin Indonesia miskin. Saya punya bukti-bukti yang kuat tentang keterlibatan mereka. Tetapi kita tetap harus tenang. Kita harus sabar, dan kita harus percaya pada kekuatan kita sendiri. Kita Memimpin Dengan Dawuh Fatwa. Di Padepokan Garudayaksa, dan dimanapun saya mendapat kesempatan berbagi, setiap saya bertemu dengan siswa-siswi baru, saya mendapat semangat baru. Saya mendapat harapan baru. Saya menilai harapan rakyat akan masa depan yang lebih baik terletak di pundak mereka yang berjuang belajar dan berbagi dengan saya. Harapan rakyat akan masa depan yang lebih baik juga terletak di pundak saudara yang telah membaca buku ini dengan seksama. Yang telah mempelajari data-data, angka-angka yang disajikan, dan arti dari data-data dan angka-angka tersebut. Yang memahami pentingnya menyebarkan informasi yang terkandung di buku ini ke sanak saudara, kerabat dan rakyat luas. Jika dalam membaca buku saudara mendapatkan pelajaran-pelajaran yang berharga, ingatlah filosofi pendekar. Ilmu yang dimiliki pendekar harus dipakai untuk membela yang lemah, membela yang tidak bisa membela dirinya sendiri. Saudara harus turun gunung, harus turun dari menara gading. Harus berani memimpin rakyat. Memimpin dengan ilmu. Memimpin dengan dawuh fatwa. Karena, sesungguhnya saudara termasuk the best and the brightest brains of the country. Carilah orang-orang yang hatinya merah putih. Hatinya Pancasila. Hatinya Indonesia terhormat, Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri. Bangunkan jawara-jawara baru yang mau membela orang miskin, membela orang lemah. Kita Tidak Boleh Tinggal Diam. Saudaraku, banyak dari apa yang saya katakan di sini memang pahit. Juga pahit kenyataan kita tidak bisa terlalu banyak berharap pada sebagian elite kita. Banyak elite Indonesia pintar bicara. Saking pintarnya, banyak juga yang pintar bohong. Saya masuk politik karena terpaksa. Minta ampun politik ini! Dari 15 orang yang saya temui di politik, 14 orang bicara kebohongan. Karena itu saya semangat mengetahui saudara- saudara yang membaca buku ini untuk mengetahui situasi dan kondisi bangsa kita yang sebenarnya. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kebersamaan. Bekerja dengan bersatu. Bekerja dengan akal yang baik, akal yang sehat. Untuk sukseskan demokrasi kita, orang-orang baik, para Pandawa, mereka-mereka yang ingin melakukan, membuat, dan membangun suatu legacy, suatu warisan yang baik bagi anak cucunya, harus berkumpul menjadi satu untuk menawarkan kepada rakyat, suatu alternatif pilihan. Saudara yang membaca buku ini adalah bagian dari kaum intelektual. Kaum intelektual bangsa Indonesia harus menjadi kekuatan yang menentukan. Kekuatan yang damai, kekuatan yang memberi kesejukan, dan juga kekuatan yang tidak akan membiarkan ketidakadilan terus-menerus berjalan di Republik Indonesia. Sekarang, kuncinya kembali kepada apa yang Edmund Burke pernah katakan. “If everybody keeps quiet,” kalau semua orang diam, yang akan memimpin adalah orang-orang yang tidak baik. Satyagraha, Landasan Perjuangan Kita. Saya butuh dukungan saudara-saudara. Saya butuh dukungan secara riil, secara konkret. Mereka, para pemodal besar yang ingin menjajah tanah air, mengatakan: Indonesia gampang, banyak rakyat Indonesia bisa dibeli, banyak pemimpin Indonesia bisa disogok. Negara kita saat ini ada pada kondisi yang kita tidak boleh seenaknya. Kita harus waspada. Kita harus saling mengingatkan. Kita harus saling mendukung. Sebagai bangsa yang besar, kita harus saling menjaga. Untuk itu marilah kita bersatu. Kita harus bersatu. Kita buktikan bahwa rakyat Indonesia masih punya cita-cita yang luhur, rakyat Indonesia masih punya harga diri, rakyat Indonesia tidak mau dibeli begitu saja. Rakyat Indonesia tidak mau jadi kacung, rakyat Indonesia tidak mau menjadi budak. Rakyat Indonesia ingin menjadi rakyat yang terhormat. Saudara-saudara sekalian yang membaca buku ini. Katakanlah yang benar, benar. Dan, katakanlah yang salah, salah. Apakah benar kekayaan kita keluar tiap tahun dan kita harus menerima? Apakah benar rakyat kita ditakdirkan hanya menjadi kacung, rakyat kita hanya menjadi pelayan? Rakyat kita hanya boleh menjadi pasar? Rakyat kita hanya boleh mendapat upah murah? Kalau saudara-saudara menilai kondisi ini benar, kita mau bilang apa? Tapi, kalau saudara-saudara menilai ini tidak benar, dan mampu kita ubah, dan mampu kita amankan kekayaan kita, maka tidak ada jalan lain, saudara-saudara harus turun gunung. Harus memimpin…