Monyet Berkeliaran di Kawasan PIK, Ini Fakta Menarik Tentang Ekor Manusia
Jakarta, CNBC Indonesia – Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejak puluhan juta tahun lalu nenek moyang manusia adalah hewan primata. Mereka hampir memiliki ekor panjang tapi mengapa manusia modern saat ini tidak memilikinya? Hal ini pun masih menjadi suatu misteri.
Ekor pada hewan pada dasarnya berguna untuk menjaga keseimbangan, penggerak, komunikasi dalam beraktivitas. Hampir semua hewan mempunyai ekor dengan fungsinya masing-masing.
Hanya saja seiring dengan diversifikasi dan evolusi primata, nenek moyang manusia modern, serta kera seperti simpanse dan bonobo kerabat primata terdekat kita membuang ekor mereka seluruhnya.
Kehilangan ekor dianggap sebagai bagian dari latar belakang bagi manusia yang berevolusi menjadi bipedalisme. Meski begitu, bagaimana tepatnya manusia bisa kehilangan ekor merupakan pertanyaan yang telah lama dicari oleh para ilmuwan untuk dijawab.
Melansir CNN International, para ilmuwan telah menelusuri hilangnya ekor manusia. Tidak adanya ekor pada manusia dan kera seperti monyet karena ada parasit genetik.
Pada 25 juta tahun lalu parasit ini berupa rangkaian kecil DNA berulang yang disebut elemen Alu, gen yang menghentikan perkembangan ekor. Penyisipan ini mengubah gen Tbxt sedemikian rupa sehingga memicu salah satu perbedaan penting antara monyet dan kera, yaitu monyet punya ekor tetapi kera tidak.
Alu juga merupakan bagian dari kelas yang dikenal sebagai gen pelompat, yaitu rangkaian genetik yang mampu mengubah lokasinya dalam genom dan memicu atau membatalkan mutasi.
Dalam percobaan dengan tikus yang dimodifikasi secara genetik sebuah proses yang memakan waktu sekitar empat tahun telah mengutak-atik sisipan Alu pada gen TBXT hewan pengerat tersebut menghasilkan panjang ekor yang bervariasi.
Menurut penulis utama studi Bo Xia, seorang peneliti di Gene Regulation Observatory dan peneliti utama di Broad Institute of MIT dan Harvard University ada banyak hipotesis tentang mengapa hominoid berevolusi menjadi tidak berekor. Paling umum menghubungkan ketidakberekoran dengan postur tegak dan evolusi berjalan bipedal.
“Lanun untuk mengidentifikasi secara tepat bagaimana manusia dan kera besar kehilangan ekornya, sebelumnya tidak ada yang ditemukan atau dihipotesiskan,” kata Xia kepada CNN melalui email.
Lantaran ekor merupakan perpanjangan dari tulang belakang, temuan ini juga dapat memiliki implikasi untuk memahami malformasi tabung saraf yang dapat terjadi selama perkembangan janin manusia, menurut penelitian tersebut.
Momen terobosan bagi para peneliti terjadi ketika Xia meninjau wilayah genom TBXT dalam database online yang banyak digunakan oleh ahli biologi perkembangan, kata rekan penulis studi Itai Yanai, seorang profesor di Institut Sistem Genetika dan Biokimia dan Farmakologi Molekuler di New York. Fakultas Kedokteran Grossman Universitas York.
Unsur Alu begitu berlimpah dalam DNA manusia dan penyisipan TBXT secara harfiah adalah satu dari sejuta yang kita miliki dalam genom manusia. Namun meski sebagian besar peneliti menganggap penyisipan Alu di TBXT sebagai DNA sampah.
Dalam percobaannya, para peneliti menggunakan teknologi pengeditan gen CRISPR untuk membiakkan tikus dengan penyisipan Alu pada gen TBXT mereka. Mereka menemukan bahwa Alu membuat gen TBXT menghasilkan dua jenis protein. Salah satunya menghasilkan ekor yang lebih pendek dan semakin banyak protein yang dihasilkan gen, semakin pendek ekornya.
Tahukah Anda bahwa, manusia masih memiliki ekor saat berkembang di dalam kandungan sebagai embrio. Ini merupakan turunan dari nenek moyang semua vertebrata berekor dan mencapai 10 hingga 12 tulang belakang. Ekor hanya terlihat pada minggu kelima hingga keenam kehamilan,dan pada minggu kedelapan janin, ekornya biasanya sudah hilang.
Beberapa bayi masih memiliki sisa embrio ekornya, namun hal ini sangat jarang terjadi dan ekor tersebut biasanya tidak memiliki tulang dan tulang rawan serta bukan bagian dari sumsum tulang belakang, demikian laporan tim peneliti lain pada tahun 2012.
Menurut Xia bagi manusia modern, ekor adalah memori genetik yang jauh. Namun kisah tentang ekor masih belum terselesaikan, dan masih banyak hal yang perlu dieksplorasi oleh para ilmuwan tentang hilangnya ekor.
Xia menyarankan bahwa pada penelitian di masa depan dapat menyelidiki konsekuensi lain dari unsur Alu di TBXT, seperti dampak terhadap perkembangan dan perilaku embrio manusia. Meskipun tidak adanya ekor adalah akibat yang paling terlihat dari penyisipan Alu, kehadiran gen tersebut mungkin juga memicu perubahan perkembangan lainnya serta perubahan dalam penggerak dan perilaku terkait pada hominoid awal untuk mengakomodasi hilangnya ekor.
Gen tambahan mungkin juga berperan dalam hilangnya ekor. Meskipun peran Alu tampaknya sangat penting, tapibfaktor genetik lain kemungkinan besar berkontribusi terhadap hilangnya ekor nenek moyang primata kita secara permanen.
Temuan baru ini juga dapat menjelaskan jenis cacat tabung saraf pada embrio yang dikenal sebagai spina bifida. Dalam percobaan mereka, para peneliti menemukan bahwa ketika tikus direkayasa secara genetis untuk kehilangan ekor, beberapa tikus mengalami kelainan bentuk tabung saraf yang menyerupai spina bifida pada manusia.