Pahlawan Partisan Timor Timur

by -226 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]

Abilio Jose Osorio Soares dan Francisco Deodato do Rosario Osorio Soares adalah kakak adik keluarga pimpinan Partai Apodeti, partai yang sangat pro Indonesia. Mereka juga adalah pimpinan-pimpinan suku-suku yang pro-Indonesia.

Dari mereka saya mengetahui, ternyata sebagian rakyat Timor Timur sudah lama ingin bergabung dengan Indonesia. Tepatnya dari sejak tahun 50-an. Bahkan pada tahun 1959 terjadi pemberontakan besar di Timor Timur yang berpusat di daerah Uato-Lari dan Viqueque.

Saat itu Portugis membalas dengan sangat kejam, membantai banyak sekali tokoh dan rakyat yang pro Indonesia. Jadi keinginan untuk bergabung dengan Indonesia itu bukan sejak tahun 1973, 1974, 1975, tapi memang sudah sejak puluhan tahun rakyat Timor Timur muak dengan penjajahan Portugis yang benar- benar menindas rakyat pribumi dan benar-benar melaksanakan eksploitasi.

Sejak 500 tahun Portugis menjajah Timor Timur mereka tidak berbuat banyak. Mereka hanya ambil sumber alam dan hasil bumi yang berguna untuk mereka. Mereka gunakan Timor Timur sebagai pangkalan untuk mengisi bahan bakar, mengisi bahan makanan dan air untuk armada laut Portugis.

Selama 500 tahun Portugis menjajah, terdapat hanya 1 SMA di Timor Timur. Jalan aspal pada tahun 1975, waktu Indonesia masuk, di seluruh Provinsi Timor Timur mungkin hanya ada sepanjang 25 km di kota Dili saja. Begitu keluar dari kota Dili, bahkan di kota Dili sendiri banyak jalan yang tidak diaspal. Jalan aspal sampai ke kecamatan-kecamatan baru dilakukan di saat Indonesia masuk.

Di sini saya tidak akan banyak menyinggung masalah benar tidaknya kita masuk ke Timor Timur pada tahun 1975. Yang saya hanya ingin ceritakan adalah ternyata ada tokoh-tokoh dan suku- suku di Timor Timur yang ingin bergabung bersama Indonesia jauh sebelum tahun 1975.

Di antaranya tokoh-tokoh adalah keluarga Osorio Soares. Kakak dari Abilio Soares yaitu Jose Osorio Soares ditangkap oleh Fretilin dan dibunuh Fretilin pada 27 Januari tahun 1976.

Abilio pun sudah ditangkap dan mau dibunuh, tapi berhasil meloloskan diri sewaktu diseret dari Dili menuju Aileu. Dalam perjalanan ia berhasil meloloskan diri dan bergabung sama tentara Indonesia yang masuk ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975.

Francisco Deodato do Rosario Osorio Soares yang sehari-hari kita panggil dengan nama Ikito juga ditangkap oleh Fretilin di daerah Laclubar dan berhasil meloloskan diri juga sempat sembunyi di hutan dan akhirnya bergabung dengan pasukan TNI yang sampai di Laklubar.

Demikian juga dengan saudaranya, Vidal Domingos Doutel Sarmento, seorang kawan sedaerah dengan Ikito dan Abilio juga meloloskan diri dari cengkraman Fretilin. Berapa hari sebelum mau dibunuh, dia berhasil melarikan diri dan bergabung sama kita.

Setelah bergabung dengan TNI, mereka mengorganisir sukarelawan-sukarelawan yang pro Indonesia. Di beberapa daerah seperti Balibo, begitu banyak tokoh-tokoh setempat yang membentuk pasukan-pasukan sukarelawan dan bergabung bersama TNI melawan Fretilin.

Di situlah muncul istilah “partisan,” nama yang kita berikan kepada pasukan sukarelawan ini. Mereka bergabung tanpa gaji, mereka tanpa keputusan pengangkatan, mereka tanpa pendidikan ketentaraan, sering tanpa seragam, sering tanpa gaji yang jelas atau sumber makanan yang jelas.

Tetapi mereka bersedia angkat senjata, bahu-membahu bersama kita karena ingin bergabung sama Indonesia. Saya terkesan dan angkat cerita mereka di buku ini karena partisan-partisan yang jumlahnya ribuan, bahkan belasan ribu, dan puluhan ribu tetap setia sama kita.

Sampai di mana Indonesia dipaksa oleh kekuatan-kekuatan asing untuk melepas Timor Timur, mereka tidak rela untuk hidup tidak di bawah bendera merah putih. Mereka meninggalkan kampung, mereka meninggalkan harta, mereka berbondong- bondong bedol desa dengan seadanya yang bisa mereka bawa keluar dari Timor Timur. Mereka pindah ke wilayah Indonesia, dan sampai hari ini sejak tahun 1999 mereka tetap setia sama Indonesia, tetap merah putih.

Apa yang dapat dipelajari dari mereka? Menurut saya kita patut pelajari nasionalisme mereka, rasa cinta tanah air mereka, komitmen mereka kepada merah putih, dan komitmen mereka kepada konsep-konsep Indonesia.

Banyak anak-anak bangsa Indonesia yang dari kecil sudah menikmati kemerdekaan di bawah bendera merah putih tetapi menganggap kemerdekaan itu biasa-biasa saja.

Mereka-mereka ini, para pejuang partisan Timor Timur, siap berkorban nyawa, siap berkorban harta, siap meninggalkan kampung, siap meninggalkan semua kekayaan untuk memperjuangkan merah putih.

Ini saya kira pelajaran yang luar biasa. Inilah yang saya katakan kita sebagai patriot tidak boleh melupakan orang-orang yang setia kepada bangsa Indonesia.

Saya harus cerita bahwa para partisan ini, mereka-mereka justru dari Timor Timur adalah benar-benar warrior. Mereka adalah pejuang sejati. Mereka berani, mereka ulet, mereka juga secara fisik kuat. Mereka bisa bertahan jalan naik tebing, turun gunung, masuk lembah. Mereka juga punya bakat menembak secara alamiah. Mungkin karena sifat mereka adalah pemburu. Mereka biasa berburu di hutan, sehingga mereka punya ilmu hutan, ilmu rimba. Mereka juga punya feeling taktis yang kuat. Daya penciuman mereka juga tinggi. Pengelihatan mereka di kegelapan juga sangat bagus. Itu kemampuan-kemampuan yang saya lihat dari pada partisan ini.

Dalam sejarah Perang Dunia ke 2, Australia berusaha merekrut mereka untuk melawan Jepang. Ini juga ciri-ciri dari suku-suku yang ada di luar Jawa. Banyak di antara mereka adalah sifat-sifat keprajuritan yang sangat unggul secara alamiah.

Tentunya kalau pakai ilmu sekolah, ilmu gedongan, ilmu buku, mereka akan sering kalah bersaing. Kadang-kadang kalau kita rekrut mereka ke dalam tentara, ya kita harus berikan suatu perlakuan khusus. Mungkin saja ijazah SMA tidak punya, kadang- kadang ijazah SMP pun tidak punya, tapi sebetulnya sebagai prajurit mereka benar-benar hebat.

Sekali lagi saya tekankan, yang menonjol dari mereka terutama adalah kesetiaan mereka. Sekali mereka sudah menentukan pilihan, sangat sulit untuk goyah. Terbukti waktu Indonesia keluar dari Timor Timur daripada dia harus tunduk di bawah bendera orang lain, mereka memilih hilang segala-galanya dan tetap setia kepada Indonesia. Saya sangat sedih karena kadang sekian puluh tahun nasib mereka kurang diperhatikan. Sekarang kita berusaha untuk memperbaiki nasib dan kehidupan mereka terutama anak-anak mereka.