BMKG: Indonesia Masih Rentan Kekurangan Air dan Pangan
Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa Indonesia masuk dalam negara-negara yang rentan mengalami gangguan ketahanan pangan. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicunya, salah satu karena kekurangan air. Selain itu juga karena kenaikan suhu permukaan bumi.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan, tahun 2023 menjadi rekor suhu maksimum terpanas berulang kali pecah rekor. Dan, suhu pada bulan Juli 2023 jadi bulan Juli terpanas dibandingkan bulan Juli sebelumnya. Hal itu disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, bulan lalu.
Dia menjelaskan, mulai tahun 1850-an terjadi kenaikan temperatur global yang dipicu masifnya pertumbuhan industri.
“Terjadi kenaikan suhu hingga tahun 2023 sebesar kurang lebih sebesar 1,2 derajat Celcius dibandingkan di masa sebelum revolusi industri. Dan 8 tahun terakhir ini tercatat merupakan rekor terpanas sepanjang sejarah,” kata Dwikorita dalam tayangan akun Youtube Komisi V DPR, dikutip Sabtu (11/11/2023).
“Kenaikan suhu memang global, meski di Indonesia belum sebesar yang lain. Ini karena luas laut jauh lebih besar dari luas daratan, sehingga berperan sebagai pendingin,” tambahnya.
Akibat lonjakan suhu bumi itu, kata Dwikorita, terjadi global water hotspot atau kekurangan air yang terjadi secara global. Kondisi ini diprediksi akan berlangsung selama beberapa waktu ke depan.
“Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan,” ungkap Dwikorita.
Indikator tekanan ketahanan pangan, lanjutnya, menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.
“Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange),” kata Dwikorita.
“Dan kita akan kesulitan impor karena negara-negara penghasil pangan pun malah mengalami kekeringan lebih parah,” ujarnya.
Dwikorita memaparkan, hasil pantauan BMKG, penyebab perubahan iklim yang ditandai dengan lonjakan suhu bumi tersebut yang ditunjukkan konsentrasi CO2 yang diukur di GAW Kototabang, termonitor konsentrasi CO2 sejak tahun 2004 yang semakin melompat hingga tahun 2023 ini.
Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm.
“Padahal, bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa dibayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 di kota pun sudah melompat. Hal ini mengakibatkan selubung gas rumah kaca di atmosfer,” terangnya
Lebih lanjut, ia menjelaskan, selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca.
Akibatnya, sejumlah efek diprediksi akan melanda bumi, termasuk Indonesia.
“Itu lah kondisinya. Dampaknya, es puncak Jayawijaya diprediksi akan punah tahun 2025. Dan, cuaca ekstrem semakin sering terjadi,” ungkapnya.
Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil. [Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Waktu Manusia Tinggal 10 Tahun, Tanda Kiamat di Mana-mana