Proyeksi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia mengalami penurunan, begitu juga dengan aliran investasi ke startup yang menurun drastis. Bhima Yudhistira, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyatakan bahwa ada banyak faktor penyebab penurunan ini, seperti naiknya suku bunga dan inflasi di negara asal investasi digital, serta pelemahan pasar domestik.
Menurut Bhima, persaingan bisnis digital di Indonesia sebagian besar bukan berdasarkan inovasi yang ditawarkan, melainkan persaingan harga. Strategi promo dan diskon yang besar-besaran dan berlangsung terus-menerus dianggap dapat merusak pasar. Masyarakat saat ini lebih banyak membeli barang berdasarkan harga, bukan karena ingin mencari inovasi layanan yang baru.
Selain itu, pendanaan pada startup fintech lending juga mendapatkan sentimen negatif karena buruknya manajemen risiko. Selain itu, citra buruk yang melekat pada fintech lending di Indonesia juga menjadi alasan penurunan minat investor. Regulasi yang semakin ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan investasi.
Perubahan ini juga tercermin dalam laporan e-Conomy Sea 2023 yang merevisi proyeksi nilai ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan nilai produk kotor (GMV) yang ditransaksikan melalui aktivitas ekonomi digital diperkirakan lebih rendah daripada prediksi sebelumnya. Jika pada laporan 2022, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai US$ 130 miliar (Rp 2.063 triliun) pada 2025, laporan 2023 memperkirakan GMV yang tercapai pada 2025 hanya sebesar US$ 109 miliar (Rp 1.730 triliun).
Tren penurunan ini juga tercermin dari aliran investasi ke perusahaan teknologi di Indonesia. Pada tahun 2021, investasi ke startup Indonesia mencapai puncaknya dengan nilai US$ 9,1 miliar (Rp 144 triliun) dalam 649 kesepakatan pendanaan. Namun, pada tahun 2022, nilai investasi menurun menjadi US$ 5,1 miliar (Rp 80,9 triliun). Pada enam bulan pertama tahun ini, investasi ke startup Indonesia semakin menurun, hanya sebesar US$ 400 juta (Rp 6,35 triliun) dalam 100 kesepakatan pendanaan. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, terdapat 302 kesepakatan dengan total nilai investasi US$ 3,3 miliar (Rp52,37 triliun).